Mengapa Ahli Matematika Jenius Didominasi oleh Laki-Laki? -Bagian I

Oleh: Agnes Sianipar* (Pakar Neurosains Kognitif)

Halo! Sebelumnya yuk kita pahami dulu arti kata ‘jenius’ dalam Ilmu Psikologi. Umumnya, kita menyebut seorang anak jenius kalau dia bisa menyelesaikan soal-soal Bahasa dan Matematika yang sulit bagi kebanyakan teman sebayanya dan bahkan teman lain yang usianya jauh di atas dia. Anak ini biasanya memiliki tingkat kecerdasan yang jauh di atas kebanyakan anak-anak lainnya. Tingkat kecerdasan seorang anak tergolong “jauh di atas rata-rata” bila ia mendapatkan skor Intelligence Quotient (IQ) di atas 130.

Skor IQ seorang anak bisa didapatkan setelah anak tersebut mengerjakan tes kecerdasan yang dibuat khusus untuk mengukur kecerdasan anak-anak. Saat ini kebanyakan psikolog di seluruh dunia menggunakan alat tes Weschler Intelligence Scale for Children (WISC). Tes ini terdiri dari banyak bagian, salah satunya adalah bagian kemampuan Aritmatika yang berhubungan erat dengan Matematika.

Nah, sejak tahun 2005, riset-riset Psikologi pada anak-anak berumur 6 sampai 16 tahun di berbagai negara menunjukkan bahwa skor kemampuan Aritmatika anak perempuan dan laki-laki tidak berbeda. Dan yang terpenting, banyak riset Psikologi, baik di Indonesia maupun luar negeri, yang menunjukkan bahwa skor Aritmatika dasar akan konsisten hingga dewasa. Artinya, kalau sejak kecil seorang anak (perempuan dan laki-laki) memiliki skor tinggi di Aritmatika, maka 20 tahun kemudian pun ia akan cenderung mendapatkan skor tinggi di Aritmatika.

Lalu kenapa kok sepertinya lebih banyak anak laki-laki daripada anak perempuan yang pintar dalam Matematika? Para peneliti dalam Ilmu Psikologi dan Pendidikan menemukan bahwa kecerdasan saja tidak cukup untuk membuat seseorang pandai, apalagi jenius, bermatematika. Hal ini disebabkan karena seorang anak tidak belajar sendirian tetapi bersama orang tua dan kakak atau adiknya di rumah, dan belajar bersama guru dan teman-temannya di sekolah. Ternyata, apa yang orang tua dan guru pikirkan mengenai kecerdasan anak bisa sangat mempengaruhi nilai-nilai anak di sekolah.

Di negara-negara yang belum mengakui kesetaraan hak dan kemampuan perempuan dan laki-laki, biasanya orang tua dan guru akan berpikir kalau kemampuan matematika anak perempuan tidak akan setinggi laki-laki. Anggapan ini akan melemahkan keyakinan seorang anak perempuan yang sebenarnya berbakat matematika untuk terus belajar menyelesaikan soal-soal matematika yang lebih sulit lagi.

Sophie Germain (1776-1831)

Sementara itu, anak laki-laki biasanya akan diharapkan lebih pintar bermatematika daripada teman-teman sekelasnya yang perempuan. Tentunya anggapan ini menyebabkan anak laki-laki untuk lebih percaya diri dan yakin dengan kemampuannya saat mengerjakan soal-soal matematika yang sulit.

Sumber gambar: https://en.wikipedia.org

*Agnes Sianipar meraih gelar sarjana dan master di bidang Psikologi dan doktoral di bidang Neurosains Kognitif. Saat ini bekerja sebagai dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan meneliti masalah emosi dan bahasa.

Tulis komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: