Oleh: Iwan Syahril* (Pendidik)
Model raport di Indonesia tidak sama dengan model raport di negara lain. Setidaknya ada empat faktor yang menjadi alasan perbedaan ini. Pertama, kurikulum yang kita gunakan berbeda dengan kurikulum di negara lain. Misalnya, di Indonesia kita menggunakan kurikulum nasional kita. Saat ini kita menggunakan Kurikulum 2013. Ini berpengaruh terhadap matapelajaran yang diajarkan. Di Indonesia kita mengenal ada matapelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dan Pendidikan Agama dan Budi Pekerti. Di negara lain, misalnya di Amerika Serikat, mata pelajaran tersebut tidak ada. Sebaliknya mereka memiliki matapelajaran seperti Computer Animation, Robotics, atau Bahasa Spanyol, yang tidak ada dalam kurikulum kita, dan tidak ada dalam raport kita di Indonesia.
Hal kedua yang menjadi pembeda model raport kita dengan negara lain adalah cara kita melakukan penilaian terhadap hasil belajar siswa. Di Indonesia, kita masih menggunakan format angka (6, 7, 8, dan seterusnya) di raport. Banyak negara lain yang sudah meninggalkan format angka, dan lebih menggunakan format huruf (A, B, C, dan seterusnya) dan narasi, dengan menggunakan kalimat dalam melaporkan hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa dilihat dari sejauh mana dia memenuhi target kurikulum untuk masing-masing matapelajaran. Misalnya, apakah siswa tersebut belum memenuhi target, sudah memenuhi target, atau malah melampui target kurikulum matapelajaran tersebut. Selain itu juga, ada laporan tentang bagaimana sikap belajar siswa selama di kelas. Apakah ia bersemangat dalam belajar, rajin bertanya, dan sebagainya.
Hal ketiga menyangkut masalah ranking. Di Indonesia sistem ranking, di mana para siswa dibandingkan satu sama lain, masih sering diterapkan. Salah satu alasan penetapan sistem ranking adalah untuk memotivasi dan memacu siswa untuk berprestasi dalam belajar. Di banyak negara lain, sistem ranking sudah tidak digunakan. Misalnya, anak saya yang pernah bersekolah di Amerika Serikat tidak pernah mendapat ranking dalam raportnya sejak dari sekolah dasar hingga sekolah menengah. Dengan sistem tanpa ranking ini, siswa merasa tidak dibanding-bandingkan antara satu dengan lainnya. Masing-masing siswa itu unik, dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Terakhir, bentuk fisik raport di Indonesia juga berbeda dengan negara lain. Di Indonesia, raport kebanyakan masih berbentuk buku. Buku raport ini harus disimpan dengan baik dan tidak boleh hilang. Sementara di negara-negara maju, raport tidak lagi berbentuk buku. Raport bisa jadi hanya dalam bentuk lembaran-lembaran kertas. Semua data hasil belajar dan nilai sudah ada di dalam sistem komputer yang canggih, sehingga lembaran-lembaran kertas hanya bentuk laporan singkat kepada siswa dan orang tua saja. Informasi hasil belajar siswa secara utuh sudah tersimpan dengan rapi dalam pusat data sekolah-sekolah yang terintegrasi secara baik. Dengan sistem seperti ini, siswa tidak perlu khawatir untuk kehilangan buku raport karena datanya tersimpan di dalam sistem komputer sekolah. Jika orangtua atau siswa kehilangan lembaran raport yang telah mereka dapatkan, mereka bisa mengajukan permohonan kepada sekolah dan sekolah akan mengirimkan kembali lembaran raport yang baru kepada orangtua atau siswa.
Sumber gambar: http://mapendademak.org
*Iwan Syahril adalah dosen Ilmu Pendidikan di Universitas Siswa Bangsa Internasional (USBI) yang sudah berkecimpung di dunia pendidikan selama hampir 20 tahun. Saat ini ia sedang menempuh program doktor dalam bidang Kebijakan Pendidikan dan Pendidikan Guru di Michigan State University (MSU), Amerika Serikat.
Ma syaa Allah, short but sweet, Pak Iwan.