Mengapa Kita Harus Jujur?

Oleh: Ari Harsono (Pakar Ilmu Komunikasi)

Alasan pertama, tak seorang pun ingin ditipu atau dibohongi. Alasan kedua, kejujuran adalah dasar dari perbuatan-perbuatan baik lainnya. Begitulah jawaban singkatnya.

Apakah di antara kita semua ada yang ingin ditipu, dibohongi, diingkari janji, dikhianati, dicurangi, atau difitnah? Tentu tidak ada. Mengapa? Semua perbuatan tersebut adalah perbuatan yang merugikan, terutama bagi orang lain. Adakah orang yang mau rugi atau dirugikan, sekarang maupun pada akhirnya nanti? Tidak ada, ‘kan?

Maka, jika kita tidak ingin dirugikan melalui cara-cara yang tidak jujur seperti itu, kita sendiri harus jujur. Kita harus menjalani hidup sejujur-jujurnya (kecuali dalam beberapa hal seperti perang). Jujurlah kepada diri kita sendiri. Jujurlah kepada orang lain, bahkan juga makhluk lain. Dan jujurlah kepada Tuhan Yang Mahatahu.

Jujurlah mulai dari dalam niat, terus berlanjut dalam sikap batin, dalam pikiran, dalam sikap jasmani, dalam ucapan, hingga jujur dalam tindakan atau perilaku. Kejujuran itu seperti rantai yang tak boleh putus, jadi harus kuat di semua mata rantainya. Tidak jujur di salah satunya, menjadikan keseluruhannya tidak jujur.

berani jujur hebat

Kejujuran seseorang terpancar atau tercermin pada perbuatan-perbuatan baik lainnya. Suatu perbuatan adil hanya mungkin dirasakan bila didasari kejujuran. Perbuatan yang tidak jujur akan memunculkan ketidakadilan. Hakim yang menerima suap akan membuat keputusan yang lebih menguntungkan penyuap tetapi merugikan pihak lain. Jadi, tak ada keadilan bila tak ada kejujuran.

Seseorang disebut bertanggung jawab karena ia jujur atas apa yang dilakukannya. Dan, ia menanggung akibat dari semua jawaban yang dikatakannya. Ia juga cenderung berkata apa adanya, tidak berbelit-belit, tidak banyak ber-rahasia. Seseorang yang jujur memperlihatkan sikap konsisten, istiqomah (lurus), taat, setia pada kebenaran, setia pada kawan, setia pada janji, dan seterusnya.

Namun, mungkin saja ada orang yang terjebak berbuat konsisten karena dari awalnya sudah keliru. Misalnya, sejak remaja ia terbiasa bertingkah keliru karena memperoleh rasa senang dan nyaman, juga karena ikut-ikutan atau tidak tahu pasti alasan tindakannya. Dalam hal seperti ini biasanya ia akan melengkapi “konsistensi”-nya itu dengan pembenaran, yakni pengetahuan yang hanya seolah-olah benar padahal keliru. Di sini terjadi konsistensi yang negatif. Untuk memperbaikinya, ia harus berterus-terang atau jujur atas apa yang terjadi sejak awal.

Kejujuran disertai dengan pengetahuan yang luas akan melahirkan kearifan atau kebijaksanaan. Kejujuran dengan pengetahuan yang sedikit akan menampakkan keluguan. Menurut Romo Magnis, tanpa kejujuran segala keutamaan moral lainnya kehilangan nilai, bahkan beracun.

Bagi yang beragama Islam: “Sesungguhnya kejujuran itu mengantarkan pada kebaikan dan kebaikan itu mengantarkan ke surga” (Hadis diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

Sumber gambar: www.republika.co.id

Tulis komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: